Kita mungkin kerap menemui nama dan kata seperti Pustaka, Karya, Guru, Sastra, Indra, Wisnu, Wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva Jayamahe. Nama-nama dalam bahasa Sanskerta tersebut merupakan suatu bukti bahwa hingga kini pun pengaruh India masih terasa kental di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya “asing” pertama yang sifatnya “maju” dan telah lama berasimilasi dengan budaya lokal Indonesia. Asimilasi ini kemudian diakui selaku bagian dari budaya Indonesia itu sendiri.
Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu.
Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India ini, sementara Pallawa adalah huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.
Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India. I-Ching mengutarakan di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut Jawa.
Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia tidaklah dalam bentuk murninya lagi. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Saat itu, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.
Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu ini merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangkan bahasa Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.
Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh prasasti Kedukan Bukit, Palembang. Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember 1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.
Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :
Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka.
Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
Jika ditelusuri ke belakang, maka bahasa yang berkembang di Indonesia dapat dibagi dua kelompok. Pertama rumpun bahasa Papua dan kedua rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terdiri atas 200 jenis, sementara rumpun bahasa Papua terdiri atas 150 bahasa. Rumpun bahasa Papua berkembang di wilayah timur nusantara, termasuk Timor Timur, kepulauan Maluku dan Papua Barat. Rumpun bahasa Austronesia juga merasuk ke wilayah-wilayah ini.
Jika bukti tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa ini, maka prasasti Muara Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 km ke arah hulu Sungai Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti tersebut menyuratkan adanya proses asimilasi dua budaya. Pertama Indonesia asli, kedua pengaruh India. Proses ini terlihat dari isi prasasti yang berlingkup pada perubahan nama.
Prasasti di Muara Kaman tersebut menceritakan Raja Kudungga punya putra namanya Acwawarman. Acwawarman punya tiga putra dan yang paling sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Acwawarman dan Mulamarman adalah bahasa Sanskrit, sementara Kudungga adalah bukan dan kemungkinan besar adalah nama yang berkembang sebelum datangnya pengaruh India dan agama Hindu.
Sanskerta adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India ini, sementara Pallawa adalah huruf yang digunakan selaku tulisannya. Sanskerta secara genealogis termasuk rumpun bahasa Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo Eropa adalah bahasa Jerman, Armenia, Baltik, Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo Iranian adalah yang terbesar, dan termasuk ke dalamnya adalah bahasa Iranian dan Indo Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.
Mengenai fungsinya, Sanskerta adalah bahasa yang dipergunakan dalam disiplin agama Hindu dan Buddha. Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan dagang di nusantara. James T. Collins mencatat signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, ikatan antara bahasa Melayu (cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah ratusan tahun. Ini ditandai bahwa sejak abad ke-7 para penganut agama Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha di Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok bahkan menulis 2 buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati pembacanya agar singgah di Fo-shih (Palembang) untuk mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota suci Buddha di India. I-Ching mengutarakan di Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi Sriwijaya sebagai basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa tersebut jadi signifikan “menular” lewat perdagangan. Seperti diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan oleh sebab berlokasi di pesisir Laut Jawa.
Bahasa Sanskerta yang dibawa dari India, setelah masuk ke Indonesia tidaklah dalam bentuk murninya lagi. Di Jawa misalnya, bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal lalu dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuno kemudian menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Saat itu, nusantara dikenal dengan penggunaan 3 bahasa yang punya fungsi sendiri-sendiri. Pertama bahasa Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, Melayu Kuna sebagai bahasa perdagangan, dan Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era India jadi mainstream di nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa “tinggi” yang dipakai dalam kepentingan keagamaan maupun bahasa formal suatu kerajaan.
Pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu ini merupakan lingua-franca yang dipergunakan dalam hubungan dagang antarpulau nusantara. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari berkembangkan bahasa Indonesia selaku bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit banyak punya pengaruh pula terhadap bahasa Indonesia.
Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu dicontohkan oleh prasasti Kedukan Bukit, Palembang. Prasasti tersebut ditemukan tanggal 29 Nopember 1920 dan diperkirakan sama tahun 683 masehi. Jejak lain penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M, huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli, Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat Manila, Filipina.
Sebagian bahasa Sanskerta kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu. Ada kemungkinan 800 kosa kata bahasa Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain :
Selain kata-kata yang sudah diserap di table atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah : derma, acara, bumi, keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri, isteri, ataupun seri paduka.
Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar