Minggu, 01 Mei 2011

Metode Penetrasi Arab-Persia ke Indonesia

Metode penetrasi budaya Arab-Persia (dalam bentuk agama Islam) ke nusantara cukup bervariasi. Supartono Widyosiswoyo menyebut sekurangnya ada 6 metode yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan pelapisan sosial. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam yang paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan asing saling bertemu dan bertukar pengaruh. Pedagang asing terdiri atas pedagang Gujarat dan Timur Tengah. Mereka ini bertemu dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah yang berdekatan dengan pantai dan menularkan kebudayaan Arab-Persia mereka.

Perkawinan banyak dilakukan antara pedagang selaku perantau dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria biasanya mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut mengikuti agama orang tuanya.

Tasawuf merupakan metode beragama yang banyak menarik kalangan pribumi Indonesia. Metodenya yang toleran dan tidak mengakibatkan cultural shock cukup membuat “banjir” penganut Islam baru. Tasawuf ini tidak menciptakan posisi diametral dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang sebelumnya digenggam orang pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun Wali Songo (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci dalam metode penyebaran Islam lewat tasawuf ini.

Pendidikan merupakan salah satu metode penyebaran Islam. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah “sekolah” tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih dan diberi muatan Islam ke dalamnya.

Seni, tidak bisa dipungkiri, punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang Indonesia merupakan seniman-seniman yang punya kemashuran tingkat tinggi. Lewat seni inilah, Islam relatif lebih mudah diterima ketimbang metode-metode lain. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan wayang sebagai cara dakwah. Sunan Bonang menggunakan gamelan untuk melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India untuk kemudian diberi muatan Islam.

Pelapisan sosial akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di agama sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Utamanya, masyarakat biasa kurang “leluasa” dengan sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Tentu saja, orang-orang Indonesia yang hendak “bebas” merespon dengan baik agama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar