Minggu, 01 Mei 2011

Pengaruh Belanda dan Portugis atas Budaya Indonesia

Kini kerap muncul stereotype yang bernada negatif terhadap budaya Barat. Utamanya di Indonesia, budaya Barat dikenal terimplementasi lewat kekuasaan colonial. Barat yang dimaksud di dalam tulisan ini adalah Negara-negara Eropa, terutama Belanda, yang melakukan tindak kolonialisasi atas kepulauan nusantara.

Sesungguhnya, terdapat sejumlah pengaruh “Barat” yang hingga kini terus membekas di dalam struktur kebudayaan Indonesia. Utamanya di dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan merupakan salah satu komponen nonmaterial kebudayaan yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Selain pendidikan, mekanisme administratif pemerintahan Belanda juga punya pengaruh tersendiri dalam pembentukan sistem sosial (politik) Indonesia.

Tidak hanya Belanda, Negara-negara Timur Jauh seperti Cina dan Jepang pun memberikan derajat pengaruh tertentu bagi perkembangan sistem sosial dan budaya Indonesia. Jepang, tentu saja, memberikan pengaruh secara koersif, yaitu lewat penjajahan singkat mereka atas Indonesia. Sementara Cina, yang telah punya hubungan dengan kepulauan nusantara jauh sebelum Arab-Persia menyentuh Indonesia, telah membentuk derajat pengaruh tersendiri.

Bangsa Barat yang memberikan pengaruh cukup membekas adalah Portugis dan Belanda. Terutama Belanda, budaya bangsa-bangsa ini sebagiannya telah terserap dan masuk ke dalam struktur budaya bangsa Indonesia. Namun, bekas pengaruh ini kurang begitu kuat mengenai di dalam kesadaran orang Indonesia yang mungkin akibat perbedaan “blue print” budayanya. Barat, sesuai namanya, merupakan produk perkembangan di bilangan barat dunia yang menekankan individualitas dan kebebasan. Sementara Indonesia merupakan bagian bangsa timur yang menghendaki harmoni, komando, dan kolektivitas.

Koentjaraningrat mencatat, pengaruh kebudayaan barat di Indonesia dimulai aktivitas perdagangan Portugis pada paruh pertama abad ke-16. Tahun 1511 Portugis menaklukan Malaka, pelabuhan dagang di sebelah barat kepulauan Indonesia. Penaklukan tersebut membuat Portugis mampu mengendalikan aspek-aspek penting kehidupan masyarakat di sana. Tatkala penaklukan tersebut, Arab-Persia tengah bertumbuh selaku budaya baru yang berangsur menjadi mainstream di kepulauan Indonesia. Konflik yang kemudian terjadi kemudian kerap secara mudah dideduksi menjadi konflik Barat versus Arab-Persia.

Kemudian tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis. Sebelumnya, tahun 1619 Belanda telah membangun benteng yang kuat di Batavia seraya menguasai Banten, pelabuhan dagang lain yang penting. Tahun 1755 Belanda melakukan perjanjian Gianti dengan Mataram Islam, kerajaan yang merupakan rival Belanda dalam menguasai jalur dagang.

Dalam perjanjian Gianti, Mataram dipecah menjadi Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegara. Tahun 1799, VOC selaku perusahaan swasta yang bergerak di Indonesia bangkrut. Mulai tahun tersebut Belanda mengatasnamakan Kerajaan Belanda dalam mengelola Indonesia.

Tahun 1824 Belanda menukar Singapura, wilayah yang dikuasainya dengan pihak Inggris. Sebagai penggantinya, Belanda memperoleh Bengkulu yang berlokasi di bagian bagian selatan barat pulau Sumatera. Tahun 1837 Belanda menguasai Sumatera Barat setelah usai Perang Paderi. Tahun 1883, Tanah Batak masuk ke dalam kekuasaan Belanda setelah berpayah-payah menaklukan orang Batak Toba.

Tahun 1894, Lombok masuk ke kekuasaan Belanda disusul Bali pada tahun 1906 setelah Perang Badung. Aceh baru masuk ke dalam kekuasaan Belanda pada 1903, itu setelah perang 30 tahun yang berlangsung sejak 1873. Dari paparan di atas, kekuasaan Belanda atas Indonesia berlangsung secara gradual di mana wilayah yang satu dikuasai terlebih dulu ketimbang lainnya.

Belanda. Bernard H.M. Vlekke mencatat mengenai pengaruh Belanda atas Indonesia ini dan membaginya ke dalam 3 bagian. Pertama, pengaruh di Sumatera dan Kalimantan di mana pengaruh orang Eropa hampir tidak berpengaruh terhadap kehidupan pribumi. Kedua, pengaruh di Indonesia bagian timur di mana pengaruhnya kuat tetapi menindas. Ketiga, di Jawa di mana Belanda mulai mencengkeramkan pengaruh mereka hingga ke pedalaman dan menimbulkan perubahan struktur sosial dan ekonomi orang Indonesia.

Di Jawa, Maluku dan Sulawesi Utara berkembang pelapisan sosial. Lapisan pertama adalah kaum buruh yang telah meninggalkan budaya tani mereka untuk kemudian menjadi pelayan rumah tangga Eropa, tukang, atau buruh industry. Lapisan kedua adalah kaum pegawai (priyayi) yang bekerja di belakang meja tulis dan harus menempuh pendidikan Belanda terlebih dahulu. Selain itu, ada pula “lapisan ketiga” yaitu kelas menengah baru pribumi yang melakukan kegiatan dagang di bidang-bidang yang belum tersentuh pengusaha Cina dan Asia lain seperti rokok kretek, batik, tenun, ataupun kerajinan tangan. Pola-pola pelapisan sosial seperti ini belumlah ada di masa lampau.

Salah satu pengaruh peradaban Barat (Belanda) di struktur budaya Indonesia adalah pendidikan. Sistem pendidikan Belanda (barat) kemudian menggantikan sistem pendidikan lokal yang berupa pecantrikan dan mandala. Juga, sekolah-sekolah Belanda mulai menyaingi pesantren, lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi budaya Arab-Persia.

Sekolah, sebagai basis proses pendidikan formal Indonesia saat ini, mendapat pengaruh dari Belanda ini. Namun, awalnya sistem persekolahan Belanda ini bersifat diskriminatif. Ada sekolah khusus orang Belanda dan Eropa seperti Erupesche Lagere School (ELS), untuk anak-anak Tionghoa semisal Hollands Chinese School, ataupun Indlansche School untuk anak-anak pribumi. Ciri yang umum dari sistem pendidikan Belanda ini adalah jenjang pendidikan berdasarkan tahun. Misalnya suatu jenjang pendidikan dasar ditempuh selama 5 atau enam tahun dan lanjutannya selama 3 tahun.

Sistem pendidikan mulai serius digarap Belanda sejak abad ke-18 dan semakin tegas tatkala Politik Etis diberlakukan tahun 1911 lewat tokohnya, Van Deventer. Sebelum Politik Etis, tujuan pembentukan sistem pendidikan bagi orang Indonesia adalah penyediaan tenaga ahli dan murah di bidang administrasi. Ini guna mengimbangi semakin luasnya wilayah kekuasaan Belanda berikut pengadministrasiannya.

Peninggalan budaya Belanda lainnya adalah rumah tinggal. Seperti diketahui, orang-orang Belanda kebanyakan tinggal di sentra-sentra kegiatan ekonomi di mana tanah dan material bangunannya cukup mahal. Sebab itu, banyak orang Belanda mengkonstruksi ruko (rumah sekaligus toko). Ruko ini pun marak dipakai oleh penduduk Tionghoa di kota-kota Indonesia. Di masa sekarang, bentuk “ruko” ini cukup banyak bertebaran, terutama di kota-kota besar.

Selain orang biasa, konstruksi banguna Belanda juga banyak dipakai oleh keluarga-keluarga “priyayi” Indonesia. Misalnya raja-raja Indonesia seperti di Banten dan Yogyakarta membangun rumah kediaman mereka serupa dengan konstruksi rumah-rumah Belanda. Tepatnya puri Belanda, yang juga berfungsi sebagai basis pertahahan terakhir tatkala terjadi perang.

Gedung perkantoran Belanda di Indonesia dibangun dengan gaya Yunani-Romawi Kuno. Cirinya adalah bangunannya besar-besar, pilar besar dan tinggi di bagian depan, hiasan doria dan ionia dari Yunani.

Portugis. Selain bangunan, orang Eropa yang pernah menjajah Indonesia juga mendirikan semacam pemukiman. Ini misalnya Tugu di Jakarta Utara di mana orang Portugis dan turunannya menggabungkan diri. Juga di Depok, Jawa Barat di mana orang Belanda beranak pinak. Kendati kini sudah menipis jumlahnya, dari wilayah tersebut dikenal beberapa budaya semisal musik Kroncong Tugu sebagai bentuk seni musik Portugis.

Masyarakat kampung Tugu lokasinya di daerah Semper, Koja, Jakarta Utara hingga kini masih dapat ditemui. Penduduk awalnya berasal dari berbagai koloni Portugis di Malaka, Pantai Malabar, Kalkuta, Surate, Coromandel, Goa, dan Srilanka. Pada abad ke-17 mereka diboyong colonial Belanda ke Batavia sebagai tawanan perang. Di Batavia mereka ditempatkan di Gereja Portugis (sekarang Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta). Kemudian sebagian besar mereka pindah ke Kampung Tugu.

Beberapa kosa kata Indonesia diambil dari bahasa Portugis. Kosa kata ini misalnya biola (viola), meja (mesa), mentega (manteiga), pesiar (passear), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), serdadu (soldado), cerutu (charuto), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bantal (avental), bendera (bandeira), bolu (balo), boneka (boneca), armada, bola, pena, roda, ronda, sisa, tenda, dan tinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar